“Selalu Bersyukur”

Entri yang Diunggulkan

PERTOLONGAN AL-QUR’AN DI ALAM QUBUR

Selasa, 17 Mei 2016

“Jangan menghina kami, Kelak kami akan menjadi Menteri!”

cotester

Itu adalah selogan para mahasiswa di jepang pada sekitar tahun 1888 yang mayoritas berasal dari suku samurai yang tetap ingin hidup dengan terhormat pada zamannya. Kala itu para mahasiswa yang berjumlah sekitar 30.000 orang itu belajar  di sekolah swasta yang berada di kota Tokyo dan 80 persen dari total diatas berasal dari kampung.
Para mahasiswa miskin yang berasal dari luar kota itu,sebagian di biayai oleh para tuan tanah di kampungnya masing-masing dan lainnya bekkerja sambil kuliah. Ada yang jadi pembantu rumah tangga, menjual surat kabar, penerjemah buku, bahkan ada juga menjadi buruh kasar.

Di jepang, sejak usia dini, karakter telah di bangun dan ditanamkan bahwa pendidikan adalah jalan pintas menuju kesuksesan. Kisah-kisah inspiratif  tentang kesuksesan dari timur ke Barat telah di sajikan sejak usia balita. BUku Tulsan Yukichi fukuzawa, dengan judul “Dorongan Belajar´pada tahun 1882 terjual 600.000 eksemplar.  Salah satu kutipan dalam buku tersebut adalah, “ Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin,tetapi dilahirkan sama dengan orang lain.
Siapapun yang rrajin belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh akan menjadi miskin dan hina.” (wan Mohd.Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu, 1997).
Jepang bias menjadi contoh dalam memajukan bangsa dan negaranya melalui pendidikan. Negara matahari terbit ini sejatinya berada dalam geografis yang kurang menguntungkan, namun bias berhasil menguasai dunia dalam beberapa bidang terutama dalam bidang otomotif dan elektronik.
Pada perang dunia kedua, dua kota besarnya telah porak-poranda akibat dihujan bom atom oleh tentara sekutu yang di pimpin oleh amerika serikat, namun dalam waktu yang sangat singkat jepang bias bangkit kembali.
Setelah kala dalam perang, para pengambil kebijakan yang dikepalai oleh perdana mentreri melakukan pertemuan, dan yang pertama di pertanyakan adalah, berapa jumlah guru yang tersisa.
Mengakui kehebatan musuh dan kelemahan diri, sembari melakukan instropeksi lalu menyusun setrategi untuk kembali bangkit –dalam dunia marketing disebut analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Keputusan pertemuan tersebut adaah bangsa jepang telah menyadari kekalahan mereka dalam perang dengan menggunakan senjata, untuk itu mereka aakan bangkit dalam peperangan yang lebih dahsyat, yaitu ekonomi. Sejak itulah serangan demi serangan dilancarkan jepang terhadap segenap penjuru bumi. Hingga saat ini, dalam setiap rumah yang ada di belahan dunia manapun sulit untuk tidak menemukan kata ‘made in jepang’, hingga sandal jepit sekalipun identic dengan jepang.
Selain kegigihan dalam menuntut ilmu, orang jepang juga terkenal dengan etos kerja yang tinggi, disiplin, dan sangat taat aturan. Salah satu contohnya adalah, sulit menemukan sampah berserakan, baik di kota-kota besar apalagi di pedesaan. Masyarakatnya telah terbiasa hidup bersih dan tidak buang sampah sembarangan. Sebuah budaya yang dalam agama islam merupakan bagian dari ibadah (iman).
Tidak hanya itu, budaya jujur juga tak kalah dahsyatnya. Konon, bila barang kita tertinggal di taksi, tidak usah risau, karena pasti bias kembali. Di Negara itu, jika seorang aparat pemerintah ketahuan koropsi maka ia akan segera mengundurkan diri. Termasuk mereka yang tak mampu merealisasikan janjinya ketika berkampanye. Sebuah kebiasaan yang nyaris mustahil di Negara lain, seperti Indonesia.
Itulah manusia-manusia berkarakter sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan yng menanamkan nilai-nilai kesungguhan dalam meraih ilmu, cinta pada lingkungan, jujur amanah, bersikap adil, tidak semena-mena – daftarnya akan terus berlanjut.

Namun perlu di catat, orang jepang melakukan amalan-amalan di atas karena memang karakternya telah terbentuk demikian adanya, alias memang sudah dari sono-nya. Wallahu a’lam bishowab./**

sumber: nuansa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar