Itu adalah selogan para mahasiswa di jepang pada sekitar
tahun 1888 yang mayoritas berasal dari suku samurai yang tetap ingin hidup
dengan terhormat pada zamannya. Kala itu para mahasiswa yang berjumlah sekitar
30.000 orang itu belajar di sekolah
swasta yang berada di kota Tokyo dan 80 persen dari total diatas berasal dari
kampung.
Para mahasiswa miskin yang berasal dari luar kota
itu,sebagian di biayai oleh para tuan tanah di kampungnya masing-masing dan
lainnya bekkerja sambil kuliah. Ada yang jadi pembantu rumah tangga, menjual
surat kabar, penerjemah buku, bahkan ada juga menjadi buruh kasar.
Di jepang, sejak usia dini, karakter telah di bangun dan
ditanamkan bahwa pendidikan adalah jalan pintas menuju kesuksesan. Kisah-kisah
inspiratif tentang kesuksesan dari timur
ke Barat telah di sajikan sejak usia balita. BUku Tulsan Yukichi fukuzawa,
dengan judul “Dorongan Belajar´pada tahun 1882 terjual 600.000 eksemplar. Salah satu kutipan dalam buku tersebut
adalah, “ Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin,tetapi
dilahirkan sama dengan orang lain.
Siapapun yang rrajin belajar dan menguasai ilmu dengan baik
akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh akan menjadi miskin dan
hina.” (wan Mohd.Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu, 1997).
Jepang bias menjadi contoh dalam memajukan bangsa dan
negaranya melalui pendidikan. Negara matahari terbit ini sejatinya berada dalam
geografis yang kurang menguntungkan, namun bias berhasil menguasai dunia dalam
beberapa bidang terutama dalam bidang otomotif dan elektronik.
Pada perang dunia kedua, dua kota besarnya telah
porak-poranda akibat dihujan bom atom oleh tentara sekutu yang di pimpin oleh
amerika serikat, namun dalam waktu yang sangat singkat jepang bias bangkit
kembali.
Setelah kala dalam perang, para pengambil kebijakan yang
dikepalai oleh perdana mentreri melakukan pertemuan, dan yang pertama di
pertanyakan adalah, berapa jumlah guru yang tersisa.
Mengakui kehebatan musuh dan kelemahan diri, sembari
melakukan instropeksi lalu menyusun setrategi untuk kembali bangkit –dalam
dunia marketing disebut analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities,
Threats). Keputusan pertemuan tersebut adaah bangsa jepang telah menyadari
kekalahan mereka dalam perang dengan menggunakan senjata, untuk itu mereka
aakan bangkit dalam peperangan yang lebih dahsyat, yaitu ekonomi. Sejak itulah
serangan demi serangan dilancarkan jepang terhadap segenap penjuru bumi. Hingga
saat ini, dalam setiap rumah yang ada di belahan dunia manapun sulit untuk
tidak menemukan kata ‘made in jepang’, hingga sandal jepit sekalipun identic
dengan jepang.
Selain kegigihan dalam menuntut ilmu, orang jepang juga
terkenal dengan etos kerja yang tinggi, disiplin, dan sangat taat aturan. Salah
satu contohnya adalah, sulit menemukan sampah berserakan, baik di kota-kota
besar apalagi di pedesaan. Masyarakatnya telah terbiasa hidup bersih dan tidak
buang sampah sembarangan. Sebuah budaya yang dalam agama islam merupakan bagian
dari ibadah (iman).
Tidak hanya itu, budaya jujur juga tak kalah dahsyatnya.
Konon, bila barang kita tertinggal di taksi, tidak usah risau, karena pasti
bias kembali. Di Negara itu, jika seorang aparat pemerintah ketahuan koropsi
maka ia akan segera mengundurkan diri. Termasuk mereka yang tak mampu
merealisasikan janjinya ketika berkampanye. Sebuah kebiasaan yang nyaris
mustahil di Negara lain, seperti Indonesia.
Itulah manusia-manusia berkarakter sebagai hasil dari sebuah
proses pendidikan yng menanamkan nilai-nilai kesungguhan dalam meraih ilmu,
cinta pada lingkungan, jujur amanah, bersikap adil, tidak semena-mena –
daftarnya akan terus berlanjut.
Namun perlu di catat, orang jepang melakukan amalan-amalan
di atas karena memang karakternya telah terbentuk demikian adanya, alias memang
sudah dari sono-nya. Wallahu a’lam bishowab./**
sumber: nuansa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar